Pendahuluan.
Tulang pada
Batak-Toba memiliki fungsi, peran sangat strategis sehingga keberadaan Tulang
pada ulaon adat tidak boleh diabaikan atau disepelekan yang merupakan salah
satu unsur Dalihan Na Tolu (DNT) yakni Hula-Hula (hula-hula, tulang, bona
tulang, bonaniari, tulang rorobot, hula-hula namarhaha-maranggi, hula-hula na
poso/parsiat, hula-hula simanjungkot), Dongan Tubu, Boru/Bere.
Namun
pada era belakangan ini keberadaan tulang cenderung tidak begitu dipentingkan
oleh sebahagian orang terlebih setelah berumah tangga/kawin (baca:
marhasohotan) dengan perempuan bukan boru ni tulang (baca: ndang mangalap boru
ni tulang). Si Bere cenderung hanya menghormati dan mementingkan mertuanya
dibandingkan tulangnya hingga muncul adagium “tulang ni na mate” yang
mencerminkan kerenggangan hubungan antara tulang dengan berenya. Bila hubungan
tulang dengan bere selalu harmonis semasa hidup tidak akan muncul istilah “tulang
ni na mate”. Tetapi pasca perkawinan seorang bere tidak pernah lagi berhubungan
dengan tulangnya sebab si bere cenderung hanya berfokus pada mertua (baca: simatua) yakni hula-hula dari istrinya.
Padahal
fungsi dan peran tulang terhadap bere pada Batak-Toba sungguh paling penting
sejak dari lahir, berumah tangga/kawin, meninggal, dan mengongkal holi.
Selanjutnya, ada ungkapan Batak-Toba menyatakan “tulang tidak bisa diganti,
sedangkan mertua bisa diganti “ yang menunjukkan betapa tingginya eksistensi tulang
pada Batak-Toba. Mengganti dan/atau menambah istri (baca: na nialap) bisa
terjadi sedangkan mengganti ibu/mamak (baca: inang pangintubu) tidak bisa.
Tulang adalah saudara laki-laki
ibu/mamak sedangkan mertua (baca: simatua) adalah hula-hula istri. Misalnya,
jika seseorang mempunyai dua istri (baca: marsidua-dua) maka mertuanya (baca:
hual-hula) tentu saja menjadi dua sedangkan tulang tidak bisa diganti atau
ditambah.
Pemahaman
demikian harus diketahui dengan baik dan benar sehingga tidak ditemukan istilah
“tulang ni na mate” atau menganggap enteng terhadap tulangnya sembari
mengagung-agungkan mertuanya saja. Sementara bila terdesak misalnya ketika
meninggal akan mencari-cari tulangnya agar ada pasahat ulos Saput atau ulos
Tujung.
Fenomena
pembentukan perkumpulan (baca: punguan marga) Batak-Toba yang tidak
mengikutsertakan bere patut dicermati dengan seksama sebab boru tidaklah
berarti apa-apa bila tidak berketurunan (baca; ndang marrindang). Arti penting
boru terletak pada anak-anaknya (baca: ianakhon) sehingga tidak memasukkan bere
(baca: laki-laki) ke dalam perkumpulan (baca: punguan marga) Batak-Toba perlu
dianalisis dengan cermat agar punguan marga jangan menjadi “tulang ni na mate”.
Tulang do sitopak parsambubuan.
Ketika anak pertama lahir (baca: anak buha baju)
maka mertua membawa sipanganon aek ni unte sekaligus mamoholi si anak baru
lahir tersebut. Dan ketika si anak berumur beberapa bulan maka orang tua si
anak membawa anaknya ke rumah ompung baonya dengan membawa sipanganon na tabo
songon tungkol tangga karena baru pertama kali si bayi tersebut datang ke rumah
ompung baonya (orang tua si perempuan melahirkan).
Setelah
sampai di rumah ompung baonya maka orang tua si anak paabingkon si bayi kepada
tulangnya, dan biasanya pada saat itulah tulangnya menggunting (baca: manimburi)
rambut berenya. Orang tua si bayi selanjutnya memberikan sipalas roha ni tulang
si anak tersebut. Menggunting rambut (manimburi) bertujuan agar ubun-ubun
(baca: parsambubuan) si bayi menjadi kuat dan keras yang bermakna supaya si
bayi sehat-sehat dan panjang umur. Tulang si bayi selanjutnya mengatakan,”
magodang ma ho bere, dao ma sahit-sahit sian ho. Magodang-godang ansimun ma ho,
ulluson pura-pura”. Asa songon nidok ni umpasa “Dangka ni sitorop tanggo
pinangait-aithon, simbur magodang ma ho bere sitongka ma panahit-nahiton”.
Selanjutnya,
bila si orang tua bayi telah merencanakan nama bayinya maka tulang bisa
menambah nama berenya. Karena itu, fungsi, peran tulang terhadap berenya
sangatlah penting sebagai sitopak parsambubuan. Dan selanjutnya tulang akan
memberi ulos Parompa (kain gendongan) terhadap berenya sembari mengatakan,”
marompa anak dohot boru ma on dongan mu marsipairing-iringan”.
Oleh
sebab itu, paabingkon bere tu tulangna merupakan salah satu ulaon Batak-Toba
yang menggambarkan betapa perlu, pentingnya tulang pada Batak-Toba. Tetapi pada
era belakangan ini ulaon paabingkon bere kepada tulangnya, sekaligus memangkas
rambut bere pertama kalinya sepertinya sudah jarang dilakukan terlebih di
perantauan dan kota-kota besar. Padahal paabingkon bere, memangkas rambut
(baca: manimburi) merupakan penghormatan paling pertama dari seorang bere
kepada tulangnya. Makna tulang sitopak parsambubuan sudah cenderung sebatas
kata-kata saja yang lama kelamaan hilang begitu saja. Akibatnya, fungsi, peran
tulang terhadap berenya semakin menipis bahkan hilang sama sekali.
Tulang paborhat laho Mangoli.
Salah satu jenis ulaon Batak-Toba adalah Manulangi
Tulang setelah berenya beranjak dewasa (baca: naeng marhasohotan/mangoli).
Orang tua membawa anak-anaknya manulangi tulang dengan maksud agar tulangnya
memberi restu kepada berenya melangkah dan/atau kawin/berumah tangga (baca:
mangoli/marhasohotan) karena sudah lajang (baca: doli-doli) sehingga sudah
pantas membentuk rumah tangga atau kawin.
Jika
pada saat itu anak perempuan (baca: boru) ni tulang ada anak gadis (baca: anak
boru) maka biasanya Batak-Toba “menawarkan” anak gadisnya tersebut kepada
berenya untuk dipersunting (baca: dioli) sebab menurut adat Batak-Toba boru ni
tulang adalah pariban anak ni namboru yang memiliki hak saling mengawini satu
sama lain seperti ungkapan mengatakan, “Situngko-tungko ni dulang tu si pusuk
ni langge, Si boru ni tulang ima iboto ni lae”. “Si lak-lak ni singkoru si rege-rege
ni ampang, Si anak ni namboru ima ibebere ni damang”. (Raja Patik Tampubolon,
1974). Artinya, bahwa anak ni namboru berhak untuk mengawini boru ni tulang,
sebaliknya boru ni tulang berhak mengawini anak ni namboru sebab menurut adat
Batak-Toba “Tampuk ni bulung bona ni sangkalan” tentang harta pusaka namboru
terletak pada maen (baca: boru ni iboto). Karena itu pula lah pada masa lalu
anak ni namboru bisa memaksa boru ni tulangnya (baca: manangkup di tonga dalan)
untuk dijadikan istri (baca: pardijabuna, parsondukna) walaupun paribannya tidak suka dengan anak ni namborunya itu.
Akan
tetapi, bila pada saat Manulangi Tulang anak gadis tulangnya tidak ada yang
tepat, baik boru tulang na marhaha-maranggi maka tulang merestui berenya untuk
mempersunting perempuan lain dengan memberikan “ulos tali-tali laho mangoli”.
Karena itu timbul ungkapan mengatakan,”Hot pe jabu i hot margulang-gulang, manang
ise pe dialap bere i, tong doi boru ni tulang”. Artinya, perempuan mana pun
yang dipersunting berenya dia menganggap borunya sendiri. Sehingga makna ulaon
Manulangi Tulang adalah menghormati tulang sekaligus meminta restu untuk
melangsungkan perkawinan, baik dengan boru ni tulang maupun kepada perempuan
lain.
Perkawinan
boru ni tulang dengan anak ni namboru pada masa-masa belakangan ini sudah
semakin jarang, termasuk melaksanakan ulaon Manulangi Tulang sebelum
melangsungkan perkawinan padahal ulaon Manulangi Tulang merupakan salah satu
instrumen penting untuk menanamkan pemahaman hakiki peran dan fungsi tulang
pada Batak-Toba.
Tulang pasahat ulos Tintin Marangkup/Siungkap Hombung.
Sebagaimana telah diuraikan pada poin “Tulang
paborhat laho mangoli” bahwa saat itu boru ni Tulang tidak ada yang tepat untuk
dipersunting maka Tulang merestui
berenya kawin dengan perempuan lain karena anak perempuan (baca: boru) nya
tidak ada yang tepat dan cocok “diberikan” atau dijadikan kepada berenya saat
itu.
Ketika
si bere melangsungkan pesta perkawinan (baca: mangadati/marunjuk/ manggarar
sulang-sulang ni pahompu dohot ulaon na gok) maka tulang memberikan ulos Tintin
Marangkup/Siungkap Hombung.
Pemberian
ulos Tintin Marangkup/Siungkap Hombung pada Batak-Toba apabila si bere kawin
(baca” mangalap boru) dengan perempuan lain. Sedangkan apabila kawin dengan
boru tulang kandung (baca: tulang sitoho-toho) maka pemberian ulos Tintin
Marangkup/Siungkap Hombung tidak ada. Sebab tulang sekaligus menjadi mertua
setelah mempersunting paribannya sendiri
.
Pada
Batak-Toba seorang mertua sangat dipantangkan menyebut atau memanggil nama langsung
menantunya, tetapi apabila bere jadi menantu maka hal itu tidak berlaku karena
mertua adalah tulang sekaligus. Sehingga bila seorang mertua memanggil atau
menyebut nama menantu hal itu menandakan bahwa menantunya itu adalah bere
kandung. Demikian sebaliknya, jika menantu adalah maen maka mertua laki-laki
tidak pantang memanggil nama menantu (baca: parumaen) karena si mertua adalah
amang boru. Sedangkan apabila menantu (baca: hela) bukan bere kandung atau parumaen
bukan maen kandung (baca: tutur manolbung) maka sangat dipantangkan memanggil
nama langsung(baca: goar sadanak) menantu, cukup dengan memanggil marganya
saja. Batak-Toba sering mengatakan,”Ndang holi-holi sinuanhon, huling-huling ni
dalhophon” bermakna bahwa bukanlah keluarga (baca: tutur) baru tetapi sudah
memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan terus menerus sehingga tida
asing lagi satu sama lain.
Dalam
sistem kekeluargaan atau kekerabatan Batak-Toba yang menganut sistem garis
keturunan patrilineal (baca: laki-laki) Tulang memiliki hak Ungkap Hombung
terhadap bere laki-laki yakni memiliki akses langsung (baca: na niambangan) atas
harta pusaka berenya. Sementara mertua memiliki akses langsung (baca; na niambangan)
terhadap anak perempuannya (baca: borunya). Karena itu lah pada saat memberikan
Sinamot Tintin Marangkup dari orang tua perempuan (baca: simatua ni bere)
kepada tulang selalu muncul ungkapan mengatakan,”Molo hami di jolo hamu ma
dipudi nami, molo hamu di jolo hami ma dipudi muna) artinya, bahwa ketika si
laki-laki meninggal maka tulang lah paling berhak (baca: na ni ambangan),
tetapi sebaliknya, bila si perempuan yang meninggal maka orang tua si perempuan
(baca: hula-hula) lah paling berhak (baca: na ni ambangan).
Perlu
dipahami bahwa kedudukan Tulang Ungkap Hombung (baca: tulang laki-laki) dengan
hula-hula (baca: simatua laki-laki) pasca perkawinan adalah hubungan pertalian
dalam ulaon adat, bukan hubungan satu marga (baca: sabutuha) sehingga kurang
tepat jika ada yang menyebut haha-anggi nami sebab marhaha-maranggi atau
sabutuha hanya untuk satu marga saja. Sehingga lebih tepat menyebut haha-anggi
paradatan marhite bere nami atau marhite hela nami, dan seterusnya.
Pemahaman
demikian perlu dibumikan dengan baik dan benar agar tidak terjadi kekeliruan
memosisikan urgensi tulang pasca perkawinan Batak-Toba. Artinya, jangan setelah
kawin hanya memerlukan dan mementingkan mertuanya saja padahal peran dan fungsi
tulang di setiap ulaon adat Batak-Toba tidak bisa terlepas atau diabaikan
begitu saja karena merupakan elemen dasar Dalihan Na Tolu (DNT).
Pada
Batak-Toba posisi tulang merupakan pertama dan utama bukan sebaliknya
memosisikan hula-hula segala-galanya
hingga ada menyepelekan atau melupakan arti penting tulang di dalam kehidupan
sehari-hari. Melupakan tulang sama artinya dengan melupakan atau tidak
menghargai ibu/mamak (baca: inang/inong pangintubu) sembari mengagung-agungkan
istri (baca: pardijabu, parsonduk bolon) karena hanya mengutamakan hula-hula
atau orang tua istri.
Yang
menjadi pertanyaan adalah apakah ada manusia di atas dunia ini bisa kawin
(baca: marruma tangga, mangoli) tanpa pernah dilahirkan oleh ibunya ? Bukankah
seseorang bisa kawin setelah memasuki usia dewasa ? Karena itu lah maka posisi
tulang pada Batak-Toba merupakan paling pertama dan utama dibandingkan dengan hula-hula istri. Sehinggga
amat sangat keliru apabila hubungan antara tulang dengan bere terputus pasca
perkawinan yang menimbulkan stigma negatif “tulang ni na mate”.
Tulang Pasahat Saput atau Pasahat Tujung.
Salah satu dalil pasti di dunia ini adalah semua
manusia pasti akan meninggal, tetapi tak seorang pun manusia di atas dunia ini
mampu menentukan kapan dirinya meninggal dunia sebab hal itu merupakan otoritas
mutlak absolut Tuhan Yang Maha Kuasa. Ungkapan mengatakan,”Timbo dolok
martimbang hatubuan ni si marhera-hera, Debata parbanua ginjang ido suhat-suhat
ni hosa ni jolma manisia” menunjukkan bahwa hidup manusia ditentukan Tuhan
pencipta semesta alam. Karena itu pula lah pepatah klasik mengatakan.”sebelum
ajal berpantang mati”.
Menurut
adat Batak-Toba bila bere laki-laki meninggal dunia maka Tulang akan memberikan
Ulos Saput, sedangkan bila istri si bere meninggal dunia maka Tulang akan
memberikan Ulos Tujung. Tetapi ada pula di beberapa daerah tertentu (baca:
daerah Toba Habinsaran) Ulos Saput dan Ulos Tujung diberikan hula-hula
sekaligus. Hal itu merupakan adat kebiasaan daerah setempat (baca: adat na
taradat) yang tidak perlu dipertentangkan satu sama lain. Karena Batak-Toba mengenal
ungkapan,”Asing dolok asing do sihaporna, Asing luat asing do nang adatna”.
Artinya, adat kebiasaan setempat yang telah dilakukan terus-menerus serta telah
diterima sebagai kebenaran adat setempat tidak lah menjadi soal. Tetapi bila
berkaitan dengan daerah lain yang memiliki perbedaan teknis adat-istiadat perlu
dicari solusi melalui “aek godong tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut”.
Sehingga tidak terjadi ekses negatif yang mengganggu hubungan harmoni
kekeluargaan dan kekerabatan agar seluruh proses adat budaya mendatangkan
kebahagiaan bersama.
Pemberian
Ulos Saput dari tulang kepada berenya menunjukkan bahwa tulang akan memberikan
kewajiban adat terakhir kepada bere tersebut selama hidupnya di atas dunia ini.
Ulos Saput adalah kewajiban adat budaya Batak-Toba dari seorang tulang terhadap
berenya. Sedangkan Ulos Tujung adalah kewajiban adat budaya dari seorang tulang
kepada berenya karena istri bere tersebut meninggal dunia (baca: mabalu) yang
menandakan nasib malang (baca: sitaonon na dokdok) manimpa berenya. Mabalu
dalam adat Batak-Toba adalah suatu penderitaan (baca: sitaonon) berat karena seorang
laki-laki akan menjadi duda pasca meninggal istri. Sehingga pemberian Ulos
Tujung adalah perlambang sitaonon na dokdok yang menimpa seorang bere pasca
meninggalnya istri.
Ada
dua jenis mabalu pada Batak-Toba yakni; bila laki-laki mabalu disebut tompas
tataring, bila perempuan mabalu disebut maponggol ulu.
Pengertian
tompas tataring adalah karena istri lah memasak makanan si suami sehingga
disebut juga si istri parsonduk bolon. Sedangkan pengertian maponggol ulu
adalah karena suami lah kepala keluarga sehingga apabila seorang suami
meninggal dunia maka istrinya kehilangan kepala keluarga. Selanjutnya, bila
laki-laki meninggal dunia maka yang kehilangan adalah tulangnya, bila perempuan
meninggal dunia maka hula-hula lah yang kehilangan. Faktor inilah yang
menentukan siapa na ni ambangan dalam adat Batak-Toba.
Tulang
mengetahui dan memahami penderitaan yang hinggap di pundak berenya sehingga
berkewajiban meneguhkan semangat berenya tersebut. Dan di saat demikian lah
diberikan wejangan seperti,”Amani bagot bogit bagot so balbalon, Salpu ma na
paet sai ro ma na tonggi tu joloanon”. “Bagot na madungdung tu pilo-pilo na
marajar, Salpu ma na lungun tu joloanon sai ro ma na jagar”. “Tombak ni
simalungun parsobanan ni simamora, Salpu ma na lungun sai ro ma angka silas ni
roha”.
Ketika
seorang laki-laki (baca: bere) meninggal tulang berkewajiban memberikan (baca:
pasahat) Ulos Saput, sedangkan pada saat istri bere meninggal (baca: mabalu)
tulang berkewajiban memberikan Ulos Tujung sehingga peran dan fungsi tulang
pada Batak-Toba tidak terlepas dari berenya, baik selama hidup maupun ketika
meninggal dunia. Sehingga kedudukan tulang pada Batak-Toba amat sangat
strategis serta tidak boleh diabaikan.
Tulang Manampin Saring-saring/holi.
Mengangkat tulang-belulang orang tua, leluhur
selanjutnya dimasukkan ke dalam Tambak atau Simin/Tugu adalah salah satu jenis
ulaon adat Batak-Toba yang dinamakan ulaon adat Mangongkal Holi/Saring-saring.
Makna
ulaon adat Mangongkal Holi/Saring-saring adalah menghormati jasa-jasa orang tua
sekaligus mempersatukan, mempererat hubungan harmoni seluruh pomparan orang tua
tersebut. Sebab ulaon adat Mangongkal Holi/Saring-saring merupakan ulaon
bersama (baca: ripe-ripe) seluruh keturunan orang tua, leluhur yang akan
diangkat tulang-belulangnya (baca: holi. Saring-saring). Oleh sebab itu,
sebelum dilakukan mengangkat tulang-belulang (baca; mangongkal
holi/saring-saring) maka harus dilakukan musyawarah serta mufakat bersama
seluruh keturunan barulah bisa dilaksanakan ulaon adat mangongkal
holi/saring-saring. Tidak boleh didasarkan atas kemampuan keadaan atau harta
milik orang tertentu, tetapi benar-benar kata sepakat bersama karena berkaitan
dengan berbagai pihak unsur Dalihan Na Tolu (DNT).
Bila
tulang-belulang (baca: holi/saring-saring) laki-laki yang diangkat (baca:
diongkal) maka Tulangnya lah yang menampung (baca: manampin) tulang-belulang
(baca: holi/saring-saring) berenya dengan sehelai ulos panampin. Selanjutnya,
menyerahkan kepada keturunannya untuk dibersihkan, dijemur, kemudian dimasukkan
ke dalam sebuah peti kecil (baca: singkam) untuk kemudian dimasukkan ke dalam
Tambak atau Simin/Tugu. Sebaliknya, bila tulang-belulang perempuan yang
diangkat (baca: diongkal) maka Hula-hulanya lah menampung (baca: manampin)
tulang-belulang (baca: holi/saring-saring) borunya dengan sehelai ulos panampin. Selanjutnya,
menyerahkan kepada keturunannya untuk dibersihkan, dijemur, kemudian dimasukkan
ke dalam peti kecil (baca: singkam) untuk kemudian dimasukkan ke dalam Tambak
atau Simin/Tugu.
Peran
dan fungsi Tulang pada ulaon adat mangongkal holi/saring-saring pada Batak-Toba
merupakan hak dan kewajiban serta keharusan hukum adat sebab bila
tulang-belulang orang tua laki-laki diangkat (baca: diongkal) tanpa dilihat,
disaksikan, ditampung (baca: ditampin) oleh Tulangnya maka hal itu disebut
mencuri (baca: manangko). Karena itu, kehadiran Tulang manampin
holi/saring-saring pada saat mangongkal holi/saring-saring merupakan hukum
wajib agar prosesi mengangkat
tulang-belulang tidak dikategorikan mencuri (baca: manangko) sesuai hukum adat.
Oleh
karena itu, peran dan fungsi Tulang pada ulaon adat mangongkal
holi/saring-saring merupakan unsur paling utama yang tidak boleh diabaikan atau
ditiadakan begitu saja. Sehingga amat keliru besar apabila seorang bere (baca:
laki-laki) tidak menghormati atau memutus hubungan dengan Tulangnya dalam
kehidupan sehari-hari.
Penutup.
Dari
berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peranan dan fungsi Tulang pada
Batak-Toba memiliki arti strategis terhadap bere sejak dari lahir (baca:
manopak parsambubuan), melangkah ke jenjang perkawinan (baca: paborhat laho
mangoli), pesta perkawinan (baca: pasahat ulos tintin marangkup/ungkap
hombung), ketika meninggal dunia (baca: pasahat ulos saput) atau ketika istri meninggal
dunia (baca: mabalu pasahat ulos tujung), dan di saat mengangkat
tulang-belulang (baca: mangongkal holi/saring-saring) menampung (baca:
manampin) tulang-belulang (baca: holi/saring-saring) berenya.
Kekurangpahaman
tentang peran dan fungsi Tulang terhadap bere sejak lahir hingga meninggal
dunia menyebabkan kekeliruan pemahaman di dalam kehidupan sehari-hari. Hingga
timbul kecenderungan mengutamakan mertua (baca: hula-hula) dibandingkan Tulang.
Padahal peran dan fungsi Tulang jauh lebih besar dibandingkan dengan mertua
hingga ada ungkapan mengatakan,”amak do rere, anak do ibebere” yang bermakna
bahwa hubungan antara Tulang dengan Bere seperti hubungan bapak dengan anak. Tulang
adalah labuhan pengaduan (baca: pangalualuan ni nipi) sehingga bila terjadi poerselisihan
antara na marhaha-maranggi seperti pembagian harta warisan orang tua maka
Tulang berperan sebagai timbangan yang adil terhadap seluruh bere tersebut.
Bukan mertua (baca: hula-hula istri), sehingga amat keliru besar apabila tidak
memahami dengan paripurna peran dan fungsi Tulang pada Batak-Toba.
Medan, 3 Juni 2012
Thomson
Hutasoit.
Penulis :
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP),
Sekretaris Umum Punguan Borsak
Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere
Kota Medan Sekitarnya, Wakil Sekretaris II Parsadaan Pomparan Toga Sihombing
(PARTOGI) Kota Medan Sekitarnya,
Penasehat Punguan Toga Lumban Gaol
Sektor Helvetia Medan, Wakil Sekretaris
Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi Sumatera Utara,
Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, tinggal
di Medan.
Horasss....pra mauliate!!!
BalasHapusHi, saya boleh minta info tentang arison andreas simarmata karena beliau melakukan banyak penipuan di jakarta-jogja-medan yang memakan banyak korban dengan jumlah uang yang tidak sedikit. Saya melihat postingan anda di repost oleh kelurga beliau
BalasHapusMantap
BalasHapusMamupus itu boleh ga di rumah bere, apakah harus di rumah tulang?
BalasHapusTerimakasih Sian Huta
BalasHapus